Tepatkah orang-orang yang pergi berjihad saat ini (baca: mujahid) disebut syahid? Bagaimana pula dengan pelaku terorisme (baca: teroris)?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa ‘penghulu syuhada Hamzah (bin Abdul Mutholib) …’[1]. Bagaimanakah aturan dalam menggunakan kata syahid? Apakah kata syahid boleh disandang oleh orang yang mati di medan perang atau digunakan pada orang shalih yang dipenjara kemudian mati?
Beliau rahimahullah menjawab:
Tidak diragukan lagi, kata ‘syahid’ adalah suatu kata yang sangat disukai (dicintai), sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ
“Dan para syuhada di sisi Rabb mereka, bagi mereka pahala dan cahaya mereka.” (QS. Al Hadid : 19)
Akan tetapi, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tertentu itu syahid kecuali jika Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memastikannya. Hal ini karena beberapa alasan:
PERTAMA
Seandainya kita melihat ada orang yag berperang melawan orang kafir lalu ia terbunuh, kita tidak boleh mengatakan orang ini syahid. Akan tetapi, kita cukup menyatakan dalam bentuk do’a, “Kami berharap orang ini syahid”, atau mengatakan dalam bentuk umum, “Semua orang yang mati di jalan Allah, maka dia syahid.” Kenapa tidak boleh memastikan si fulan itu syahid karena pernyataan semacam ini adalah perkara yang tidak kita ketahui. Kita mesti melihat apa yang ada dalam hatinya terlebih dahulu. Namun sesuatu yang ada dalam hati adalah perkara yang tidak kita ketahui (tidak dapat diungkap).
Coba perhatikan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang terluka di jalan-Nya, Allah-lah yang lebih mengetahui siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya … [2].”
Inilah sebaik-baik bentuk kehati-hatian dalam berucap. Maksud hadits ini adalah seakan-akan beliau mengatakan ‘janganlah kalian memastikan setiap orang yang mati atau terluka di jalan Allah dengan menyatakan mereka telah betul-betul mati di jalan-Nya (alias ‘mati syahid’). Karena Allah-lah yang lebih mengetahui siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya’. Oleh karena itu, pada saat ini janganlah kita menilai seseorang secara lahiriyah saja saja. Maksudnya, janganlah kita menetapkan bahwa orang ini syahid karena terkadang kita tidak mengetahui sesuatu dalam hatinya. Boleh jadi dia berperang hanya karena mau disebut pemberani. Boleh jadi pula dia berperang karena mau disebut ksatria. Boleh jadi dia berperang atas dasar fanatisme golongan. Atau dia mungkin berperang karena ingin menegakkan kalimat Allah itu jaya. Yang terakhir barulah disebut mati di jalan Allah. Namun, ingatlah bahwa ini semua di bangun di atas niat (harus dilihat apa yang dalam hati terlebih dahulu).
KEDUA
Kita tidaklah mengatakan bahwa si fulan itu syahid karena seandainya kita mengatakan demikian maka ini berarti kita telah memastikan dia adalah ahli surga. Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang syahid pasti masuk surga. Padahal tidak boleh bagi kita untuk memastikan orang tertentu sebagai ahli surga kecuali bagi orang yang telah dipastikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita tidak memastikan bahwa orang tersebut syahid, padahal di sisi Allah orang tersebut dinilai syahid, maka ketidakpastian yang kita munculkan tidaklah akan membahayakan dirinya. Namun sebaliknya, jika kita memastikan bahwa orang tersebut syahid, padahal di sisi Allah orang tersebut tidak dinilai syahid, apakah pemastian kita seperti ini akan bermanfaat bagi dirinya?
Jika memang demikian, lalu kenapa kita mengatakan perkara yang sebenarnya tidak kita ketahui? Sebaiknya kita mengatakan, “Siapa saja yang terbunuh di jalan Allah, maka dia syahid. Kami mengharapkan agar orang tersebut termasuk orang yang benar-benar mati di jalan Allah, semoga dia mendapatkan kesyahidan.”
[Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 32]
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, tepatlah mengatakan syahid pada seorang mujahid? Kalau dalam bentuk do’a, itu boleh.
Bagaimana dengan para teroris yang sudah salah jalan? Apa tepat mereka dinyatakan mati syahid? Yang jelas Islam saja benci terorisme, bagaimana kata syahid itu disematkan pada mereka.
Coba baca artikel Rumaysho[dot]Com: Islam Mengajarkan Terorisme?
Wallahu waliyyut taufiq, hanya Allah yang memberikan petunjuk.
—
Disusun di Panggang – Gunung Kidul di pagi hari yang penuh berkah, di bulan yang utama untuk beramal sholeh, 1 Dzulhijah 1429 H
Direvisi ulang, 4 Rabi’uts Tsani 1437 H di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Footnote:
[1] HR. Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 374 mengatakan bahwa hadits ini shahih. [2] Lafazh hadits tersebut adalah :وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُكْلَمُ أَحَدٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِى سَبِيلِهِ – إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ
“Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang terluka di jalan Allah –Allah lebih mengetahui siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya-, kecuali pada hari kiamat nanti, dia akan datang dengan warna yang merupakan warna darah dan dengan bau bagaikan bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 2803)